
Bencana tanah longsor merupakan fenomena alam yang terjadi karena proses alamiah dan juga akibat aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahannya (eksploitasi). Oleh karena itu maka perlunya kegiatan pembinaan penataan ruang (meliputi sosialisasi, penyebarluasan informasi penataan ruang kawasan rawan bencana longsor, pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat) serta peningkatan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dari pemerintah daerah berserta unsur-unsur terkait kepada masyarakat khususnya yang menetap di kawasan-kawasan yang tergolong ke dalam kawasan rawan bencana tanah longsor, dimana hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri PU No.22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor dan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bahkan lebih rinci lagi dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTL).
Apabila kita
memerhatikan kondisi topografi Kota Batam yang bentuknya cenderung
berbukit-bukit, tingginya tingkat curah hujan, dan maraknya kegiatan
penggundulan hutan diikuti dengan pengerukkan tanah (cutting hill) dalam rangka
pembangunan sehingga berpotensi menjadi lahan kritis (yaitu lahan yang
mengalami kerusakan fisik ditandai dengan berkurangnya vegetasi penutup dan
letak serta kondisinya memudahkan terjadinya erosi) serta memperhatikan lokasi
permukiman penduduk (khususnya ruli) yang beberapa diantaranya berada di
lereng-lereng bukit bahkan pada kondisi yang cukup terjal walaupun telah
dilakukan pengerasan, namun hal ini perlu kita antisipasi bersama-sama sebagai
bentuk pencegahan khususnya oleh Pengelola Kota Batam dari kemungkinan
terjadinya ancaman bencana tanah longsor melalui kebijakan perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan
bencana longsor dalam rangka optimalisasi fungsi penyelenggaraan penataan ruang
dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang kota.
Dalam muatan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah diatur rencana pola ruang yang
merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kota yang meliputi
rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya, dimana salah
satu fungsinya adalah mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang
serta sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kota
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bencana tanah longsor dapat
dihindari apabila masyarakat dan pemerintah di daerah bersama-sama (konsistensi)
dalam merencanakan tata ruang dan menentukan kawasan-kawasan yang berpotensi
rawan bencana longsor serta mengatur struktur dan pola ruang (land use
management) sesuai dengan tujuan penataan ruang kota yaitu mewujudkan
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta mewujudkan
pelindungan fungsi ruang serta pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang.
Dalam menyusun
suatu rencana tata ruang kawasan, selain mempertimbangkan masalah pengembangan
juga harus dipertimbangkan konservasi kawasan sehingga rencana tata ruang
tersebut berwawasan lingkungan.
Kawasan lindung
yang diatur dalam rencana pola ruang wilayah kota terdiri dari: 1) Hutan
lindung; 2) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, yang
meliputi kawasan bergambut dan kawasan resapan air; 3) Kawasan perlindungan
setempat, yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/waduk dan kawasan sekitar mata air; 4) Ruang terbuka hijau; 5) Kawasan
suaka alam dan cagar budaya; 6) Kawasan rawan bencana alam, yang meliputi
kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan kawasan rawan
banjir; 7) Kawasan lindung lainnya. Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana
alam yang ada di dalam muatan Permen PU dan Perda RTRW tersebut dilakukan untuk
melindungi manusia serta kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh alam
maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia itu sendiri.
Secara umum,
berikut ini adalah faktor-faktor pemicu yang dapat menyebabkan terjadinya tanah
longsor yaitu: curah hujan yang tinggi; lereng yang terjal; lapisan tanah yang
kurang padat dan tebal; jenis batuan yang kurang kuat; jenis tanaman dan pola
tanam yang tidak mendukung penguatan lereng; getaran yang kuat (peralatan
berat, mesin pabrik, kendaraan bermotor); susutnya muka air danau/bendungan;
beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan angkutan; terjadinya
pengikisan tanah atau erosi; adanya material timbunan pada tebing; bekas
longsoran lama yang tidak segera ditangani; adanya bidang diskontinuitas;
penggundulan hutan; dan daerah pembuangan sampah.
Dalam penyusunan
rencana pola ruang kota khususnya untuk kawasan rawan bencana longsor, dapat
dibedakan atas zona-zona berdasarkan karakter dan kondisi fisik alaminya dengan
cara menyusun arahan peraturan zonasi, proses perizinan pemanfaatan ruang di
kawasan rawan bencana longsor, pemberian insentif dan disinsentif dalam
pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, sehingga setiap zona akan
berbeda dalam penentuan struktur ruang dan pola ruangnya serta jenis kegiatan
yang diperbolehkan atau yang dilarang.
Suatu kawasan
dapat ditentukan fungsi zonasinya yaitu terdiri dari zona perlindungan
(protection), zona penyangga (buffer), zona pertanian serta zona permukiman dan
industri. Sedangkan menurut Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana
Longsor oleh Kementerian PU bahwa kawasan rawan bencana longsor dapat dibedakan
menjadi 3 tipe zona yaitu: 1) Zona Tipe A, berpotensi longsor pada daerah
lereng gunung, lereng bukit dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih
dari 40% dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut; 2) Zona
Tipe B, berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki bukit dan tebing
sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 21%-40% dengan ketinggian 500
meter sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut; 3) Zona Tipe C,
berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran, tebing
sungai atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 0%-20%
dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut.
Penentuan zona tersebut di atas menjadi acuan bagi para penyelenggara penataan ruang dalam penentuan rencana distribusi peruntukkan ruang pada zona yang berpotensi longsor agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para stakeholders sesuai dengan peruntukkan ruangnya yaitu sebagai berikut: 1) Peruntukan ruang zona berpotensi longsor dengan tingkat kerawanan tinggi diutamakan sebagai kawasan lindung yang tidak layak untuk pembangunan fisik. Kegiatan-kegiatan penggunaan ruang pada zona ini harus dihindari dan tidak diperbolehkan karena dapat dipastikan akan mempunyai dampak signifikan pada fungsi lindungnya; 2) Dalam penentuan pola ruang pada zona dengan tingkat kerawanan sedang lebih diarahkan kepada dominasi fungsi lindungnya melalui pengawasan yang ketat terhadap penggunaan ruangnya; 3) Peruntukan ruang zona berpotensi longsor dengan tingkat kerawanan rendah tidak layak untuk kegiatan industri, namun dapat untuk kegiatan-kegiatan hunian, pertambangan, hutan produksi, hutan kota, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata dan kegiatan lainnya. Kawasan dengan tingkat kerawanan rendah dapat saja dikembangkan tetapi bersyarat sesuai tipologi dan klasifikasi tingkat kerawanan/risikonya serta diberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Penentuan zona tersebut di atas menjadi acuan bagi para penyelenggara penataan ruang dalam penentuan rencana distribusi peruntukkan ruang pada zona yang berpotensi longsor agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para stakeholders sesuai dengan peruntukkan ruangnya yaitu sebagai berikut: 1) Peruntukan ruang zona berpotensi longsor dengan tingkat kerawanan tinggi diutamakan sebagai kawasan lindung yang tidak layak untuk pembangunan fisik. Kegiatan-kegiatan penggunaan ruang pada zona ini harus dihindari dan tidak diperbolehkan karena dapat dipastikan akan mempunyai dampak signifikan pada fungsi lindungnya; 2) Dalam penentuan pola ruang pada zona dengan tingkat kerawanan sedang lebih diarahkan kepada dominasi fungsi lindungnya melalui pengawasan yang ketat terhadap penggunaan ruangnya; 3) Peruntukan ruang zona berpotensi longsor dengan tingkat kerawanan rendah tidak layak untuk kegiatan industri, namun dapat untuk kegiatan-kegiatan hunian, pertambangan, hutan produksi, hutan kota, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata dan kegiatan lainnya. Kawasan dengan tingkat kerawanan rendah dapat saja dikembangkan tetapi bersyarat sesuai tipologi dan klasifikasi tingkat kerawanan/risikonya serta diberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
(Diterbitkan di Koran Batam Pos dalam kolom Opini pada tanggal 5 Januari 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar