KAWASAN RAWAN BENCANA LONGSOR DALAM PENATAAN RUANG KOTA BATAM

Kita semua tentu masih ingat dengan tragedi bencana tanah longsor yang terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) yang merenggut korban jiwa hingga mencapai hampir 100 orang pada akhir tahun 2014 lalu, dan pada awal tahun 2016 ini warga Batam juga dikejutkan dengan terjadinya tanah longsor di jalan menuju ke arah Tanjungpiayu sehingga menyebabkan amblasnya jalan di Bukit Kemuning dan mengakibatkan beberapa rumah warga rusak parah. Tentunya tragedi tersebut menjadi keprihatinan kita bersama dan diharapkan tidak terjadi kembali sehingga perlunya tindakan-tindakan antisipatif (mitigasi) khususnya dalam perspektif kebijakan penataan ruang kota.


Bencana tanah longsor merupakan fenomena alam yang terjadi karena proses alamiah dan juga akibat aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahannya (eksploitasi). Oleh karena itu maka perlunya kegiatan pembinaan penataan ruang (meliputi sosialisasi, penyebarluasan informasi penataan ruang kawasan rawan bencana longsor, pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat) serta peningkatan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dari pemerintah daerah berserta unsur-unsur terkait kepada masyarakat khususnya yang menetap di kawasan-kawasan yang tergolong ke dalam kawasan rawan bencana tanah longsor, dimana hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri PU No.22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor dan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bahkan lebih rinci lagi dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTL).

Apabila kita memerhatikan kondisi topografi Kota Batam yang bentuknya cenderung berbukit-bukit, tingginya tingkat curah hujan, dan maraknya kegiatan penggundulan hutan diikuti dengan pengerukkan tanah (cutting hill) dalam rangka pembangunan sehingga berpotensi menjadi lahan kritis (yaitu lahan yang mengalami kerusakan fisik ditandai dengan berkurangnya vegetasi penutup dan letak serta kondisinya memudahkan terjadinya erosi) serta memperhatikan lokasi permukiman penduduk (khususnya ruli) yang beberapa diantaranya berada di lereng-lereng bukit bahkan pada kondisi yang cukup terjal walaupun telah dilakukan pengerasan, namun hal ini perlu kita antisipasi bersama-sama sebagai bentuk pencegahan khususnya oleh Pengelola Kota Batam dari kemungkinan terjadinya ancaman bencana tanah longsor melalui kebijakan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana longsor dalam rangka optimalisasi fungsi penyelenggaraan penataan ruang dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang kota.

Dalam muatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah diatur rencana pola ruang yang merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kota yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya, dimana salah satu fungsinya adalah mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang serta sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kota tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bencana tanah longsor dapat dihindari apabila masyarakat dan pemerintah di daerah bersama-sama (konsistensi) dalam merencanakan tata ruang dan menentukan kawasan-kawasan yang berpotensi rawan bencana longsor serta mengatur struktur dan pola ruang (land use management) sesuai dengan tujuan penataan ruang kota yaitu mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta mewujudkan pelindungan fungsi ruang serta pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Dalam menyusun suatu rencana tata ruang kawasan, selain mempertimbangkan masalah pengembangan juga harus dipertimbangkan konservasi kawasan sehingga rencana tata ruang tersebut berwawasan lingkungan.

Kawasan lindung yang diatur dalam rencana pola ruang wilayah kota terdiri dari: 1) Hutan lindung; 2) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, yang meliputi kawasan bergambut dan kawasan resapan air; 3) Kawasan perlindungan setempat, yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata air; 4) Ruang terbuka hijau; 5) Kawasan suaka alam dan cagar budaya; 6) Kawasan rawan bencana alam, yang meliputi kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan kawasan rawan banjir; 7) Kawasan lindung lainnya. Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam yang ada di dalam muatan Permen PU dan Perda RTRW tersebut dilakukan untuk melindungi manusia serta kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia itu sendiri.

Secara umum, berikut ini adalah faktor-faktor pemicu yang dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor yaitu: curah hujan yang tinggi; lereng yang terjal; lapisan tanah yang kurang padat dan tebal; jenis batuan yang kurang kuat; jenis tanaman dan pola tanam yang tidak mendukung penguatan lereng; getaran yang kuat (peralatan berat, mesin pabrik, kendaraan bermotor); susutnya muka air danau/bendungan; beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan angkutan; terjadinya pengikisan tanah atau erosi; adanya material timbunan pada tebing; bekas longsoran lama yang tidak segera ditangani; adanya bidang diskontinuitas; penggundulan hutan; dan daerah pembuangan sampah.

Dalam penyusunan rencana pola ruang kota khususnya untuk kawasan rawan bencana longsor, dapat dibedakan atas zona-zona berdasarkan karakter dan kondisi fisik alaminya dengan cara menyusun arahan peraturan zonasi, proses perizinan pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, pemberian insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana longsor, sehingga setiap zona akan berbeda dalam penentuan struktur ruang dan pola ruangnya serta jenis kegiatan yang diperbolehkan atau yang dilarang.

Suatu kawasan dapat ditentukan fungsi zonasinya yaitu terdiri dari zona perlindungan (protection), zona penyangga (buffer), zona pertanian serta zona permukiman dan industri. Sedangkan menurut Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor oleh Kementerian PU bahwa kawasan rawan bencana longsor dapat dibedakan menjadi 3 tipe zona yaitu: 1) Zona Tipe A, berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng bukit dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih dari 40% dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut; 2) Zona Tipe B, berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki bukit dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 21%-40% dengan ketinggian 500 meter sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut; 3) Zona Tipe C, berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran, tebing sungai atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 0%-20% dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut.

Penentuan zona tersebut di atas menjadi acuan bagi para penyelenggara penataan ruang dalam penentuan rencana distribusi peruntukkan ruang pada zona yang berpotensi longsor agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para stakeholders sesuai dengan peruntukkan ruangnya yaitu sebagai berikut: 1) Peruntukan ruang zona berpotensi longsor dengan tingkat kerawanan tinggi diutamakan sebagai kawasan lindung yang tidak layak untuk pembangunan fisik. Kegiatan-kegiatan penggunaan ruang pada zona ini harus dihindari dan tidak diperbolehkan karena dapat dipastikan akan mempunyai dampak signifikan pada fungsi lindungnya; 2) Dalam penentuan pola ruang pada zona dengan tingkat kerawanan sedang lebih diarahkan kepada dominasi fungsi lindungnya melalui pengawasan yang ketat terhadap penggunaan ruangnya; 3) Peruntukan ruang zona berpotensi longsor dengan tingkat kerawanan rendah tidak layak untuk kegiatan industri, namun dapat untuk kegiatan-kegiatan hunian, pertambangan, hutan produksi, hutan kota, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata dan kegiatan lainnya. Kawasan dengan tingkat kerawanan rendah dapat saja dikembangkan tetapi bersyarat sesuai tipologi dan klasifikasi tingkat kerawanan/risikonya serta diberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

(Diterbitkan di Koran Batam Pos dalam kolom Opini pada tanggal 5 Januari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar