TINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN LEWAT CSR PERUSAHAAN

Berkembangnya sektor industri di suatu wilayah, membawa dampak dan pengaruh terhadap kondisi lingkungan yang berada disekitarnya. Dampak tersebut bisa berdampak positif seperti penciptaan lapangan pekerjaan, dan dampak negatif seperti penurunan kualitas lingkungan. Menurut Prof. Dr. Emil Salim dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Industrialisasi” mengatakan, penyebab utama masalah lingkungan adalah adanya perkembangan teknologi dan ledakan penduduk. Dengan adanya perkembangan teknologi, maka semakin besar kesempatan mendirikan industri sehingga lingkungan hidup otomatis terganggu karena limbah industri, sedangkan pertumbuhan penduduk memerlukan lahan baru bagi perumahan dan pangan.

Kota Batam merupakan daerah industri yang berkembang pesat karena adanya penerapan kebijakan Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) sehingga berdampak pada tingginya pertumbuhan investasi dan tingginya pertumbuhan penduduk akibat arus migrasi yang masuk. Karenanya, potensi polusi (pencemaran) baik dalam bentuk padat, cair maupun gas dan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan akibat adanya aktivitas industri yang menghasilkan limbah industri, serta terbatasnya lahan dan daya dukung Kota Batam dengan semakin padatnya penduduk kota untuk mendapatkan kebutuhan sandang, pangan dan papan, khususnya kebutuhan air bersih yang semakin terbatas sumber dan kualitasnya. Kualitas lingkungan bukan hanya ditentukan dari keadaan biofisik lingkungan saja (air, udara dan tanah), melainkan juga termasuk keadaan sosial, ekonomi dan budaya suatu penduduk.

Dilatarbelakangi keprihatinan terhadap meningkatnya degradasi lingkungan yang disebabkan aktivitas industri, maka pentingnya perhatian dan keseriusan kita dalam meningkatkan peran tanggung jawab perusahaan terhadap kualitas lingkungan khususnya di wilayah sekitar kawasan industri melalui kebijakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau yang sering disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR).

Menurut ISO 26000, CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak dari keputusan dan kegiatan pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan (stakeholders), sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Secara konseptual, menurut Jhon Elkington (2007) CSR dipahami sebagai bentuk kepedulian perusahaan yang didasari pada tiga prinsip utama yaitu keuntungan (Profits), lingkungan (Planet) dan masyarakat (People) atau dikenal dengan istilah Triple Bottom Line. Konsep ini menekankan pada economic prosperity, environmental quality dan social justice, dimana perusahaan bukan lagi sekedar pelaku ekonomi untuk menciptakan keuntungan semata, melainkan juga bertanggung jawab untuk mampu memberikan kontribusi pada pembangunan wilayah, kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan (sustainable).

Kedudukan CSR semakin kuat setelah dinyatakan dalam Peraturan dan Perundang-undangan Republik Indonesia. Adapun yang menjadi dasar hukum dalam pengaturan CSR tersebut antara lain: Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Bila diperhatikan dalam setiap peraturan dan kebijakan terkait CSR yang ada saat ini, dirasa belum mencakupi unsur-unsur CSR yang sesungguhnya, sebagaimana diakui dunia global dalam ISO 26000. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai macam definisi dan bentuk implementasi CSR yang beragam dari setiap kalangan industri sehingga kurang terimplementasi dan terkoordinasi dengan baik pelaksanaannya.

Implementasi CSR dapat dikatakan baik dan efektif jika terdapat sinergi diantara pemerintah, sektor swasta dan komunitas masyarakat dalam pengelolaan CSR. Dengan demikian arah kebijakan program CSR dari kalangan industri dapat berjalan efektif dan selaras dengan kebijakan program pembangunan daerah dengan prinsip-prinsip yaitu: Pro-Job (menciptakan lapangan pekerjaan), Pro-Poor (pengurangan jumlah penduduk miskin), Pro-Growth (peningkatan pertumbuhan ekonomi) dan Pro-Environment (peningkatan kepedulian lingkungan). Tentunya dalam menentukan dan mendistribusikan lokasi bantuan CSR berdasarkan pemetaan permasalahan dari data-data sosial, ekonomi dan lingkungan yang berasal dari desa/kelurahan atau masyarakat sendiri dan dilihat dari aspek kepentingan serta urgensitasnya sehingga terjadinya pemerataan bantuan CSR di skala regional.

Apabila dilihat secara makro, pelaksanaan CSR di perusahaan-perusahaan pada umumnya lebih berorientasi pada aktivitas karitatif (kegiatan-kegiatan yang bersifat sumbangan secara cuma-cuma) dan proses implementasinya kurang dipetakan dengan baik secara sistematis dengan target-target capaian tujuan yang jelas bahkan ada yang dibuat secara insidentil berdasarkan tuntutan dan kepentingan sesaat hanya untuk membangun reputasi (image) yang baik kepada masyarakat, sehingga program-program CSR yang dilaksanakan kurang menyentuh akar permasalahan komunitas yang sesungguhnya maupun kepentingan lingkungan yang jauh dari konteks berkelanjutan. Substansi program CSR bukan pada aspek penghimpunan dana dan pembangunan infrastruktur semata, tetapi bagaimana perusahaan mampu mengintegrasikan perhatian aspek sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis perusahaan dan dalam interaksinya dengan para stakeholders.

Sesungguhnya pelaksanaan CSR dapat memberikan dampak positif pada warga. Sebagai contoh dalam kebijakan berbasis Pro-Job, dapat dilaksanakan dalam bentuk pelatihan, pemberian beasiswa dan perintisan usaha. Dalam Pro-Poor dapat diisi dengan kegiatan pemeriksaan kesehatan dan sumbangan-sumbangan amal. Sementara itu, untuk Pro-Environment melakukan pembangunan sarana/prasarana umum, tempat ibadah, pelestarian alam seperti pananaman pohon dan bantuan terhadap korban bencana. Sedangkan untuk Pro-Growth, dapat dilaksanakan dalam bentuk penyaluran dana kredit serta promosi mitra binaan melalui pameran.

Dengan menjalankan CSR, perusahaan-perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar laba jangka pendek, tetapi juga ikut berkontribusi terhadap peningkatan kualitas lingkungan sekitar dalam jangka panjang sehingga pada akhirnya masyarakat, pemerintah dan kalangan industri dapat saling bekerjasama dengan baik untuk saling mendukung dalam memajukan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan.

Untuk mendapatkan pengelolaan CSR yang sesuai kebutuhan masyarakat dan lingkungan sekitar, diperlukan strategi yang tepat dalam menentukan konsep kebijakan pengelolaan CSR di skala regional yang efektif dan berkelanjutan agar tujuan program CSR dapat tepat guna dan tepat sasaran serta memberikan manfaat jangka panjang kepada masyarakat khususnya yang berada di wilayah sekitar kawasan industri dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan sekitar.

(Diterbitkan di Koran Batam Pos dalam kolom Opini pada tanggal 11 September 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar