
Dilatarbelakangi
keprihatinan terhadap meningkatnya degradasi lingkungan yang disebabkan
aktivitas industri, maka pentingnya perhatian dan keseriusan kita dalam
meningkatkan peran tanggung jawab perusahaan terhadap kualitas lingkungan
khususnya di wilayah sekitar kawasan industri melalui kebijakan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan atau yang sering disebut dengan Corporate Social
Responsibility (CSR).
Menurut ISO
26000, CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak dari keputusan
dan kegiatan pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk
perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan
(stakeholders), sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku
internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Secara
konseptual, menurut Jhon Elkington (2007) CSR dipahami sebagai bentuk
kepedulian perusahaan yang didasari pada tiga prinsip utama yaitu keuntungan
(Profits), lingkungan (Planet) dan masyarakat (People) atau dikenal dengan
istilah Triple Bottom Line. Konsep ini menekankan pada economic prosperity,
environmental quality dan social justice, dimana perusahaan bukan lagi sekedar
pelaku ekonomi untuk menciptakan keuntungan semata, melainkan juga bertanggung
jawab untuk mampu memberikan kontribusi pada pembangunan wilayah, kesejahteraan
masyarakat dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan (sustainable).
Kedudukan CSR
semakin kuat setelah dinyatakan dalam Peraturan dan Perundang-undangan Republik
Indonesia. Adapun yang menjadi dasar hukum dalam pengaturan CSR tersebut antara
lain: Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Undang-undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; dan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; serta
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Terbatas.
Bila
diperhatikan dalam setiap peraturan dan kebijakan terkait CSR yang ada saat
ini, dirasa belum mencakupi unsur-unsur CSR yang sesungguhnya, sebagaimana
diakui dunia global dalam ISO 26000. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai
macam definisi dan bentuk implementasi CSR yang beragam dari setiap kalangan
industri sehingga kurang terimplementasi dan terkoordinasi dengan baik
pelaksanaannya.
Implementasi CSR
dapat dikatakan baik dan efektif jika terdapat sinergi diantara pemerintah,
sektor swasta dan komunitas masyarakat dalam pengelolaan CSR. Dengan demikian
arah kebijakan program CSR dari kalangan industri dapat berjalan efektif dan
selaras dengan kebijakan program pembangunan daerah dengan prinsip-prinsip
yaitu: Pro-Job (menciptakan lapangan pekerjaan), Pro-Poor (pengurangan jumlah
penduduk miskin), Pro-Growth (peningkatan pertumbuhan ekonomi) dan
Pro-Environment (peningkatan kepedulian lingkungan). Tentunya dalam menentukan
dan mendistribusikan lokasi bantuan CSR berdasarkan pemetaan permasalahan dari
data-data sosial, ekonomi dan lingkungan yang berasal dari desa/kelurahan atau
masyarakat sendiri dan dilihat dari aspek kepentingan serta urgensitasnya
sehingga terjadinya pemerataan bantuan CSR di skala regional.
Apabila dilihat
secara makro, pelaksanaan CSR di perusahaan-perusahaan pada umumnya lebih
berorientasi pada aktivitas karitatif (kegiatan-kegiatan yang bersifat
sumbangan secara cuma-cuma) dan proses implementasinya kurang dipetakan dengan
baik secara sistematis dengan target-target capaian tujuan yang jelas bahkan
ada yang dibuat secara insidentil berdasarkan tuntutan dan kepentingan sesaat
hanya untuk membangun reputasi (image) yang baik kepada masyarakat, sehingga
program-program CSR yang dilaksanakan kurang menyentuh akar permasalahan
komunitas yang sesungguhnya maupun kepentingan lingkungan yang jauh dari
konteks berkelanjutan. Substansi program CSR bukan pada aspek penghimpunan dana
dan pembangunan infrastruktur semata, tetapi bagaimana perusahaan mampu mengintegrasikan
perhatian aspek sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis perusahaan dan dalam
interaksinya dengan para stakeholders.
Sesungguhnya
pelaksanaan CSR dapat memberikan dampak positif pada warga. Sebagai contoh
dalam kebijakan berbasis Pro-Job, dapat dilaksanakan dalam bentuk pelatihan,
pemberian beasiswa dan perintisan usaha. Dalam Pro-Poor dapat diisi dengan
kegiatan pemeriksaan kesehatan dan sumbangan-sumbangan amal. Sementara itu,
untuk Pro-Environment melakukan pembangunan sarana/prasarana umum, tempat
ibadah, pelestarian alam seperti pananaman pohon dan bantuan terhadap korban
bencana. Sedangkan untuk Pro-Growth, dapat dilaksanakan dalam bentuk penyaluran
dana kredit serta promosi mitra binaan melalui pameran.
Dengan
menjalankan CSR, perusahaan-perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar laba
jangka pendek, tetapi juga ikut berkontribusi terhadap peningkatan kualitas
lingkungan sekitar dalam jangka panjang sehingga pada akhirnya masyarakat,
pemerintah dan kalangan industri dapat saling bekerjasama dengan baik untuk
saling mendukung dalam memajukan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan.
(Diterbitkan di Koran Batam Pos dalam kolom Opini pada tanggal 11 September 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar